Sabtu, 30 Maret 2019

Bentuk Komunikasi dalam Sebuah Tari/ Jurnalisme Online Minggu 4




Bentuk Komunikasi dalam Sebuah Tari



Foto Penari Gedruk pada pagelaran teater “Aku Diponegoro” di Bakorwil Karesidenan Kedu Kota Magelang, Jumat(29-03-2019)-blog pribadi/ Tri Marlina




#JurnalismeOnlineMinggu4

             Berkata tentang Sejarah Pulau Jawa yang dulunya dikenal sebagai tempat yang kurang aman dan banyak sekali ilmu hitam yang berkembang di Pulau ini. Mengenai sejarah tersebut aku jadi keinget beberapa hari yang lalu aku menonton sebuah pagelaran teater di sebuah Museum di Kota Magelang. Singkatnya Pagelaran tersebut menceritakan sebuah perlawanan terhadap penjajah yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro. Sebelum pagelaran teater tersebut ditampilkan sebuah tarian yang konon katanya berasal dari Kota Magelang. Tarian tersebut dinamai dengan Tari Gedruk. Malam itu untuk pertama kalinya aku melihat tarian itu secara langsung padahal biasanya aku litany di Youtube aja. Jadi bahasan tulisanku kali ini adalah tari Gedruk aja oke.
            Beberapa kisah menceritakan bahwa Tari Gedruk ini merupakan gambaran sebuah kemarahan raksasa yang di Jawa sendiri dinamakan “Buto”. Awalnya tarian ini hanya sebuah tarian pelengkap di tengah tarian Jathilan. Namun, seiring berjalannya waktu Tari Gedruk ini sering dipentaskan sendiri.  Tari Jathilan itu sendiri merupakan tarian yang berkembang di Karesidenan Kedu dan sekitarnya. Tarian ini menceritakan sebuah perlawanan melawan sang angkara murka yang direpresentasikan dengan adanya sosok barongan. Begitu pula dengan adanya Gedruk ini, gedruk dihadirkan sebagai sosok angkara murka yang sedang marah.
Tari Gedruk ini mengkisahkan sosok Buto ataupun raksasa jawa yang sedang marah karena diserang oleh manusia. Sosok yang tinggi besar ini bergerak lincah layaknya seorang manusia yang sedang melakukan peperangan. Ada beberapa yang mengatakan bahwa kisah Gedruk ini diambil dari kisah Ramayana, namun ada pula yang menggambarkan bahwa sosok ini merupakan kisah sosok buto dari Jawa.

Seorang penari Gedruk ini menggunakan topeng yang menyerupai wajah seorang Buto yang menyeramkan. Menggunakan sepatu yang penuh dengan krincingan yang menimbulkan suara berisik ketika dihentak-hentakan. Rambut gimbal juga digunakan untuk menambah kesan menyeramkan dari tari gedruk tersebut. Berikut gambaran penari Gedruk yang sedang mengisi acara di pagelaran teater “Aku Diponegoro” beberapa hari yang lalu.





Para penari melakukan gerakan tarian dengan lincah yang bergerak kesana dan kemari serta diiringi oleh gamelan Jawa yang memainkan irama dengan cepat atau yang disebut sebagai irama rampak. Gerakan kaki yang dihentakan oleh sang penari merupakan symbol kemarahan dari sang Buto. Tarian tersebut juga menggambarkan bahwa seorang Buto yang berbadan besar juga mmapu melakukan gerakan yang dilakukan oleh seorang manusia yang bertubuh lebih kecil. Ada beberapa pesan juga untuk generasi sekarang bahwa keterbatasan tubuh manusia tidak dapat menentukan seorang tersebut dalam melakukan keinginanya. Wah cocok juga nih buat bahasan body shaming. Diwakilkan oleh sosok Buto yang menbuktikan bahwa dia juga bisa seperti manusia yang bertubuh kecil untuk bergerak bebas dan melakukan perlawanan ketika berperang.

Sumber: Anonim. 2017. "Tari Rampak Gedruk Buto, Gambaran Kemarahan Raksasa. https://merahputih.com/post/read/tari-rampak-buto-gambaran-kemarahan-raksasa. diakases pada tanggal 29 Maret 2019 pukul 18.00 WIB.











   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Klik Sekali Dampaknya Bertahun-tahun: Dampak Filter Bubble_Jurnalisme Online Minggu 12

Sumber Gambar:  https://medium.com/@byrnehobart/how-filter-bubbles-will-save-the-world-c37f5ade70ef           ...